Kamis, 10 Januari 2013

Mengelola Sebuah 'Nilai', untuk Masyarakat




Mengelola sebuah museum merupakan tanggung jawab yang besar. Pihak pengelola harus mampu menyediakan pelayanan yang baik bagi pengunjung, termasuk di dalamnya service, kebersihan, kerapian, dan sebagainya, namun juga bertanggung jawab untuk merawat objek-objek di dalam museum, karena biasanya objek di dalam museum membutuhkan perawatan yang ekstra. Karena itu, mengelola sebuah museum membutuhkan sumber daya yang berkualitas, dan sumber dana yang tidak sedikit. 
Salah satu contoh museum yang memiliki pengelolaan yang sudah mapan adalah Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman. Museum yang didirikan di bekas rumah dinas Panglima Besar Jenderal Sudirman ini memiliki berbagai koleksi yang menarik. Mulai dari senjata milik Jenderal Sudirman, sampai dengan telegram-telegram ungkapan turut berduka cita untuk istri Jenderal Sudirman saat beliau wafat. 
Museum ini (dalam bahasa awam) dikelola oleh TNI. Angkatan darat memiliki divisi dalam bidang sejarah dan monumen yang bertanggung jawab untuk mengelola peninggalan-peninggalan seperti bekas rumah dinas panglima besar jendral Soedirman. Apabila kita berkunjung, kita akan mendapati museum ini sangat bersih lingkungannya dan terawat berbagai koleksinya. Padahal, yang mengelola hanyalah tujuh orang yang piket secara bergantian. Saya bertanya apakah ini karena faktor kedisiplinan khas militer? Bapak Heru Santoso, yang mengepalai penanggung jawaban mesum itu menjelaskan bahwa setiap museum sebenarnya bisa memiliki pelayanan yang baik, bersih, dan terawat. Pada awalnya mungkin harus ada unsur ‘paksaan’, namun untuk mencapai hasil yang baik, kita memang harus keras terhadap diri kita sendiri. Secara kualifikasi, setiap petugas yang sedang mendapat tugas piket harus mampu untuk menjadi guide yang dapat menjelaskan tentang seluk beluk museum dan kisah sejarah panglima besar jendral Soedirman. Padahal, mereka juga memiliki kewajiban di militer seperti latihan menembak rutin, minggu militer, dan sebagainya. 
Dalam masalah pembiayaan, museum penglima besar jendral Soedirman ditanggung oleh TNI pula, bahkan, mereka tidak memungut biaya masuk museum, sehingga bisa memberikan akses yang mudah bagi siapa saja. Bagi pengunjung yang hendak mengunjungi museum hanya perlu mengisi buku tamu, tidak sepeser pun uang yang ditarik. Dengan begitu, museum ini sepenuhnya menjadi monumen dan fasilitas untuk seluruh masyarakat. Dan para staf dapat fokus untuk merawat dan memberikan pelayanan yang maksimal, karena dengan tidak dipungutnya biaya, idealisme-lah yang menjadi penggerak utama.
Tentu dalam mengelola museum, tidak bisa hanya menjaga agar museum tetap ‘hidup’, tetap beroperasi sehari-hari. Tetapi juga harus ada berkembangan agar kualitas dan pelayanan juga meningkat, sehingga pengujung bertambah secara kualitas dan kuantitas. Program-program diadakan, promosi digencarkan, koleksi ditambah, dan sebagainya. Sehingga museum harus bersikap tidak hanya ‘pasif’, namun juga ‘aktif’. Namun tentu, bagi museum-museum seperti Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman, menambah isi museum tidak bisa sembarangan. Tim harus melakukan verifikasi dan kaji berulang-ulang untuk memutuskan apakah suatu objek bisa menjadi koleksi museum. Misalnya. apa bila pernah dilaporkan Jenderal Soedirman pernah tinggal di rumah bapak X saat bergerilya, tim yang bertugas mengelola peninggalan tersebut harus melakukan kaji historis dan memverifikasi kesaksian pemilik rumah. Dan setelah memberikan apresiasi apabila pemilik menghendaki, maka baru bisa suatu objek menjadi tambahan koleksi museum.
Namun, sebaik apapun pengelolaan yang dilakukan kepada museum-museum tersebut, masih ada yang dirasa kurang. Yaitu, apresiasi masyarakat. Bapak Heru Santoso mengatakan, bahwa nilai yang terkandung dalam museum panglima besar jendral Soedirman sangat tidak sebanding dengan apresiasi masyarakat sejauh ini. Memang benar, beberapa kali saya datang, dan berkali-kali saya melewati museum ini, selalu hanya segelintir pengunjung yang tampak. Kadang ada rombongan, memang, namun itu adalah bagian dari acara sekolah anak sd.  Yang masih diprihatinkan oleh Bapak Heru bukanlah jumlah pengunjung secara kuantitas, namun kualitas. Masih banyak pengunjung yang hanya datang untuk melihat-lihat, padahal, banyak sekali yang bisa dipelajari dari museum ini. Selain itu, pengunjung pada umumnya tidak mengunjungi museum ini dengan ‘hati’. Nilai yang terkandung bukan hanya nilai-nilai ‘berwujud’ seperti data, historis, ataupun arkeologis, namun juga nilai-nilai moral dari jalan hidup Panglima Besar Jenderal Sudirman. Misalnya saat seorang pengunjung melihat peta rute gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman, pengunjung itu sendirilah yang memutuskan, apakah dia hanya melihat itu sebagai sebuah peta rute, atau mengambil pelajaran, dari jalan yang ditempuh Jenderal Sudirman untuk melawan penjajahan di saat tubuhnya sendiri sudah tidak sempurna.
Mungkin, tidak seperti negara-negara maju, masyarakat kita belum siap untuk ‘belajar’ dari atau melalui museum. Masyarakat kita harus berubah, dan memang, masyarakat kita sedang berubah. Akankah masyarakat mencapai perubahan di masa depan, hanya kita yang menentukan. Karena kita adalah masyarakat, karena kita adalah masa depan.

yusuf alazhar

Museum Kayu Wanagama

Museum Kayu Wanagama Seakan Kehilangan Tujuan
 Oleh : Arin Wahyu Agustin

     Sekilas nama museum ini memang sangat "kering" dan tidak menggugah rasa ingin tahu siapapun yang mendengarnya. Dari pinggir jalan pun tak nampak aktivitas kemuseuman di sana. Museum ini pertama kali didirikan pada tahun 1995 dengan tujuan melindungi keberagaman hasil-hasil kayu sebagai kekayaan budaya bangsa, pengetahuan keragaman jenis-jenis kayu, dan lain sebagainya.  Pendirian museum ini diprakarsai oleh dua staff dosen Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Ir. Hj. Oemi Hani'in dan Ir. Etty Suliantoro bersama dengan perum perhutani. 

     Dari UGM menuju ke museum dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam perjalanan mengendarai sepeda motor. Sepanjang perjalanan kita akan disuguhi pemandangan alam yang sangat eksotis. Apalagi ketika sampai di Bukit Bintang, seluas mata memandang hamparan lembah indah dan jajaran pegunungan diselimuti awan biru dengan mega putih nampak sangat memesona. Jadi, perjalanan menuju museum juga merupakan wisata yang sangat menarik, apalagi bagi mereka yang suka fotografi, ini adalah objek luar biasa.


     Katanya dulu ada sebuah warung makan yang sangat ramai di sebelah kiri depan belokan menuju museum bernama Warung Lombok Ijo. Namun sekarang telah ditinggalkan oleh pengelolanya karena pengunjung museum semakin hari semakin berkurang sehingga tidak ada yang makan di warung tersebut. Terhitung sejak 19 Febuari 2011 sampai 5 Januari 2013 total pengunjung hanya 147 orang saja. Jalan masuknya pun cukup membuat orang bertanya-tanya apakah benar jalan tersebut adalah jalan masuk museum. Kondisi jalan yang tidak baik membuat jalan menjadi sangat licin, lebih-lebih saat musim hujan. Tempat parkir pun bisa disebut tidak ada dan tentu saja tanpa penjaga. Tetapi, suasana museum yang asri di tengah pohon-pohon rindang membuat semua kekurangan itu tertutupi. Udaranya bersih dan nyaman serta jauh dari kebisingan. Museum ini buka setiap hari dari pagi sampai sore hari dan untuk masuk, pengunjung dibebankan biaya hanya Rp 5.000,- saja yang nantinya akan digunakan untuk perbaikan dan perawatan museum.
 
     Di museum ini disimpan fosil-fosil kayu dan benda-benda yang bahan baku pembuatnya adalah berbagai jenis kayu. Beberapa di antaranya adalah fosil kayu jati berumur ratusan tahun, meja dan kursi pertama mantan menteri kehutanan RI Ir. Sudjarwa, Arca Gupolo, lesung, alat tenun tradisional, Loro Blonyoh Kuno, patung toraja, patung kepala rusa, Gebyok ukir dari kayu jati, lengeh/ kursi malas, lincak, topeng-topeng kayu, andong, dan banyak benda-benda kerajinan kayu lainnya. Bangunan museum itu sendiri juga terbuat dari kayu, berbentuk rumah panggung. Yang membuatnya keren adalah desainnya menyatu dengan lingkungan hutan Wanagama. Jadi ketika kita berada di museum akan didapatkan sensasi seolah-olah kita sedang berada jauh di dalam hutan. Keren!
     Di depan museum ditanam dua pohon Cendana yang sarat akan nilai dan simbol. Kayu cendana dianggap sebagai kayu dengan kualitas terbaik. Ketika ia sudah cukup tua, ia kan mengeluarkan bau harum yang sangat menyegarkan. Ia juga sangat kuat. Pemilihan pohon Cendana dan pemilihan lokasi penanamannya yang tepat berada di depan museum menyimbolkan harapan pendiri museum ini agar kelak ia bisa menjadi berguna dan mengharumkan nama bangsa, mungkin. 
     Tetapi sangat disayangkan, sejak lebih dari lima tahun terakhir, museum ini tak dikelola dan dirawat dengan baik. Museum yang terletak di kawasan hutan Wanagama, Jalan Jogja-Wonosari Km 30, saat ini memang berada di ambang kematian. Benda-benda museum terbengkalai dan tak terawat sehingga banyak di antara benda-benda tersebut kotor dan rusak. Lantainya yang juga terbuat dari kayu juga mulai rapuh dan berlubang. Atapnya sudah tidak layak sehingga saat hujan airnya akan mudah masuk dan membasahi benda-benda museum yang notabene akan membuat proses perusakannya semakin cepat.  Peletakan benda koleksinya pun kurang rapi karena harus dihindarkan dari kebocoran. Beberapa coretan di dinding kayu juga turut menghancurkan keanggunan museum ini.
     Ketika museum-museum yang lain memiliki catatan-catatan tentang benda koleksinya maka berbeda dengan Museum Kayu Wanagama. Ia tidak memiliki catatan yang cukup untuk membantu pengunjung mengetahui paling tidak apa benda yang dilihatnya. Tentu saja di museum yang menyimpan benda-benda bernilai seni maka pengunjung berharap mengetahui seluk beluk karya tersebut. Tetapi saat ini, hal itu belum bisa dinikmati pengunjung karena masih dalam masa-masa penelusuran. Yang ada hanyalah kertas kecil berisi tulisan seadanya tentang nama benda dan bahan bakunya, itupun hampir tak terbaca. Sungguh miris.

     "Ketika saya menerima jabatan sebagai kepala museum ini bulan September 2012 lalu, saya hanya menerima bangunan museum ini dan benda koleksi di dalamnya tanpa dokumen atau catatan sejarah museum, bahkan inventaris apa saja yang dimiliki pun tidak ada catatannya." tutur Bapak Suranto, dosen Fakultas Kehutanan UGM yang saat ini menjabat sebagai kepala museum. Beliau tidak mempunyai staff maupun karyawan pembantu. Oleh karena kesibukannya mengajar di UGM maka ia secara pribadi menggaji seorang pemuda bernama Mas Udin untuk mengurus kebersihan, keamanan, serta pemandu museum sebagai bentuk tanggung jawab dan kecintaannya terhadap kayu. Setiap hari Sabtu dan waktu-waktu senggang beliau meluangkan waktu untuk datang ke museum. Perhatiannya sebagai ahli kayu mendorong hati kecilnya untuk menghidupkan museum ini kembali. Ia berpikir bahwa benda-benda koleksi museum tersebut harus diketahui sejarah di belakangnya, nilai-nilainya, dan segala sesuatu tentangnya. Tetapi karena ketiadaaan dokumen dan catatan dari pengelola sebelumnya (dan tentu saja bantuan dana), beliau merasa kesulitan untuk menelusuri jejak-jejak sejarah tersebut.
     Dalam waktu-waktu ini beliau sedang berkonsentrasi untuk mengembalikan kondisi bangunan museum sehingga layak digunakan setidaknya untuk menyimpan benda-benda bernilai edukatif, sejarah, dan seni tinggi itu. Beliau berencana untuk menggandeng pihak swasta dalam proses rehabilitasi museum karena UGM, sebagai pemilik museum, tidak memiliki dana untuk perbaikan dan perawatan museum. Dan sebagai imbalan atas bantuan mereka, nama perusahaan/ lembaga/ perseorangan akan dicantumkan dalam karya di museum. Ia juga menggandeng beberapa mahasiswa untuk mempromosikan Museum Kayu Wanagama melalui media internet dan juga pameran museum di istana negara akhir 2012 lalu.
     Setuju dengan usaha Bapak Suranto, saya pun berpikir bahwa Museum Kayu Wanagama merupakan aset yang tak ternilai harganya yang harus diselamatkan. Keberadaan museum ini seharusnya bisa menjadi wadah dan objek penelitian bagi akademisi, khususnya mahasiswa UGM sendiri. Lokasinya yang berada di kawasan hutan konservasi Wanagama sangat mendukung sebagai lokasi pengamatan dan penelitian, misalnya penelitian tentang hutan, kayu, kesenian, sejarah, budaya, arkeologi, filsafat dan lain sebagainya. Koleksinya pun cukup banyak dan mungkin tidak akan habis dalam waktu 100 tahun untuk diteliti.
     Selain sebagai objek kajian dan penelitian, lokasi museum ini juga sangat berpotensi digunakan sebagai objek wisata alam yang sangat lengkap mengingat museum ini menjadi satu rangkaian dengan hutan Wanagama. Untuk meningkatkan antusias kunjungan, akan lebih baik jika mulai dilakukan usaha perbaikan.
Yang pertama, memperbaiki museum dan perawtan benda koleksinya (sedang dilakukan oleh Bapak Suranto dan Mas Udin). Selanjutnya adalah membuat gapura di depan pintu masuk museum dari Jalan Raya Jogja-Wonosari sehingga keberadaan museum diketahui. Kemudian perbaikan jalan masuk ke museum dan lokasi parkir. Menurut saya, tidak mesti jalan aspal karena jalan aspal bisa mengurangi keasrian lokasi. Menghidupkan kembali Warung Lombok Ijo yang dulu berada di depan museum (atau mungkin beberapa warung yang lain) bisa menjadi faktor pendukung. Tentu saja sebagai objek wisata, warung makan merupakan faktor yang pertama dicari oleh pengunjung.
     Langkah besar yang sebaiknya dilakukan juga adalah membangun taman bermain di depan museum. Lahan  yang masih sangat luas sebaiknya dimanfaatkan sebagai sarana penarik perhatian pengunjung untuk datang ke museum. Selain itu, lokasinya yang bersatu dengan hutan Wanagama bisa dijadikan lokasi outbond yang sangat sempurna. Sebaiknya pengelola museum  bekerja sama dengan pengelola hutan Wanagama untuk mewujudkan cita-cita yang satu ini.  Di depan museum juga terdapat sebuah sungai besar yang mungkin saja bisa dimanfaatkan untuk olahraga air, seperti rafting atau yang lainnya.
     Usaha-usaha di atas disarankan karena waktu tidur museum yang sudah terlalu lama sehingga diperlukan cara ekstra untuk menarik pengunjung datang ke museum.  Tentu saja usaha-usaha pendataan dan pengkajian benda-benda museum seperti yang telah dipaparkan di atas harus terus dilakukan untuk mengembalikan dan mewujudkan kembali cita-cita awal didirikannya museum ini. Fakultas kehutanan, sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengelola museum sebaiknya segera menaruh perhatian secara khusus untuk museum ini dan mungkin menggandeng Fakultas Ilmu Budaya (Ilmu Sejarah dan Arkeologi) untuk menyusuri sejarah benda koleksinya.  Tidak salah jika Fakultas Kehutanan tidak mampu mengurus museum ini sendirian ketika fakultas ini mempelajari ilmu yang memandang ke depan. Maksudnya, fakultas ini mempelajari -gampangannya- bagaimana bibit tumbuh menjadi pohon dengan kayu yang berkualitas dan bisa menjadi bahan baku industri dengan nilai ekonomis tinggi tanpa memperhatikan nilai dan simbol budaya yang mungkin saja ada dalam benda hasil karya kayu tersebut. Singkatnya ia mempelajari ilmu yang memandang lurus ke masa depan. Padahal sebagai museum, ia harus memperhatikan aspek sejarah dan budayanya (memandang ke masa lalu).
     Setelah usaha-usaha di atas, museum ini diharapkan dapat hidup kembali dan menemukan kembali tujuannya berdiri, cita-cita orang-orang besar penggagas museum ini. Tentu saja Bapak Suranto tidak mungkin bekerja sendiri untuk mewujudkan usaha di atas. Bantuan dari banyak aspek sangat dibutuhkan baik dukungan moral dan yang paling penting adalah dana. Mahasiswa terutama Universitas Gajah Mada sebaiknya dilibatkan dalam prosesnya. Saya yakin dengan kerjasama yang baik dari banyak pihak, Museum Kayu Wanagama dapat berdiri kembali dan menjadi kebanggaan khususnya bagi Universitas Gajah Mada.

 

















Catatan: Bagi Anda yang berpartisipasi dalam perbaikan museum, mengunjungi museum, berbagi dokumen tentang sejarah museum dan atau hanya ingin mendapatkan informasi tentang Museum Kayu Wanagama, hubungi Bp. Suranto 081228803985.

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat {Vinesya R. P}

Posted by: Vinesya Rara Pradhipta
 (12/335154/SA/16629)


Bonjour tout le monde!
Jadi, di post ini saya akan menceritakan tentang kunjungan saya ke Kraton Yogyakarta. Kunjungan ini merupakan tugas dari mata kuliah Dasar - Dasar Ilmu Budaya dan sekaligus juga sebagai tugas UAS pada semester 1 ini. Saya mengunjungi Keraton pada hari Rabu, tanggal 3 Oktober 2012. Waktu itu sekalian bersama 4 teman yang lain, jadi saya ke 5 museum juga deh! Oke, langsung saja ya saya mulai cerita perjalanan saya ini! :)

 
(foto doc. google.com)
Sejarah
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih umum dikenal dengan Keraton Yogyakarta, adalah istana resmi dari Kasultanan Yogyakarta yang berlokasi (tentu saja) di Kota Yogyakarta, D.I Yogyakarta. Keraton sendiri mulai dibangun sejak tahun 1755, oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada masa Perjanjian Giyanti. Dulu, komplek Keraton merupakan bekas pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggarahan ini dulunya adalah tempat dimana para iring - iringan jenazah raja - raja Mataram (Kartasura & Surakarta) akan di makamkan di Imogiri. Sampai saat ini, Keraton masih digunakan sebagai tempat tinggal sultan dan keluarganya yang masih menjalankan tradisi jawa yang sangat kental. (Katanya sih begitu, tapi mungkin tidak segitu kentalnya ya, keluarga Sultan ini pada gaul - gaul juga kok :P)

Laporan Pandangan Mata
     Oke, jadi dari saat pertama saya ke Keraton, yang saya sadari adalah Keraton itu luasnya bukan main! Padahal kata bapak gaet (iya ini 'gaet', versi Indonesia ya) nya, sekarang ini sudah jauh lebih kecil daripada aseli nya dulu. Ya memang tidak heran, karena pada tahun 1700an, yang mampu punya tempat tinggal layak ya cuma keluarga sultan. Alhasil, tanah - tanah yang ada di Jogja yang mulai diambilin sama penjajah dan dikasih pajak mahal, dibeli sama sultan lalu dikembalikan lagi tanahnya ke rakyat. Dermawan? Iya, tapi dari situ lah kekuasaan sultan semakin kuat, hampir seluruh Jogja punya beliau :D
     Kembali ke Keraton nya ya.. Keraton itu letaknya tepat dimana Alun - Alun Lor berada. Sudah banyak yang tahu kan keliatan dari mana? Naaaah, dari gerbang yang terlihat kokoh itu, dibalik dua beringin kembar yang memang menjadi ciri khas Alun - Alun Utara ataupun Selatan. Gapura tersebut mempunyai nama Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan.
     Untuk masuk Keraton, pengunjung harus membayar Rp7000,00 dan jika kita membawa kamera atau handycam, kita harus membayar Rp2000,00 dan nantinya akan dikasih tanda di kameranya yaitu bukti kalau sudah membayar :)
Setelah membeli tiket, kami langsung masuk ke dalam. Sebelumnya, perlu diketahui, bahwa istana ini terbagi dalam 7 komplek. Nah masuk dalam komplek pertama, kita langsung melihat sebuah lapangan luas seperti panggung, yang dipayungi dengan joglo khas Keraton yang berwarna hijau. Komplek ini dinamakan Siti Hinggil Ler. Disitu, terdapat panggung luas yang disebut Pagelaran, disini lah biasanya singgahsana Sri Sultan HB jika sedang ada acara Keraton yang bisa ditonton oleh publik atau jika acara berlangsung di Alun - alun Lor.
     Di komplek pertama, terdapat 2 bangunan kecil di kanan dan kiri pagelaran tersebut. Sama seperti yang saya ingat dulu, isinya adalah manekin - manekin pria, wanita, dan anak - anak yang memakai pakaian - pakaian adat Jogja sesuai dengan acara - acara tertentu. Setelah itu, saya berjalan lagi menuju ke taman bagian dalam yang pertama, dimana terdapat pagelaran juga. Di dalam, terdapat beberapa bangunan yang dulu nya berisi berbagai macam hiasan atau bagian - bagian dari kereta kencana milik istana. Namun sayang, saat itu Keraton memang sedang dalam renovasi. Jadi barang - barangnya tidak terdapat didalamnya.

(foto doc. google.com)

     Setelah itu kami tetap berjalan terus menuju taman bagian dalam yang kedua. Saat melewati tangga, terlihat relief cerita tentang perjuangan pahlawan nasional yang pada saat itu berusaha untuk merebut Jogja dari tangan Sekutu (Serangan Oemoem 1 Maret.) Sesampainya diujung tangga, saya tercengang. Pintu besar menuju ke taman dalam istana, dimana biasanya kita bisa melihat tempat latihan menari para penari istana, dan juga koleksi burung - burung eksotis yang dimiliki Sultan, kini tertutup untuk umum. Sedikit kecewa, namun apa boleh buat? Mungkin karena semakin banyak nya pengunjung yang datang ke Jogja belakangan ini, akses ke dalam istana pun di minimalisir. Karena memang, museum yang tersedia di Keraton sendiri hanyalah museum Siti Hinggil Pagelaran tersebut.
     Saya selalu menyukai Keraton. Sejak saya masih SD, saya selalu suka berjalan - jalan di daerah sekitar Keraton. Selain budaya jawa nya yang masih sangat kental, saya juga suka melihat suasana klasik yang hadir di sekitaran tempat itu. Terutama pada Keraton, saya sangat suka mengitari tempat itu dan memperhatikan setiap detil arsitektur dari bangunan istana tersebut. Walaupun saat ini sudah tidak bisa diakses lagi, namun saya pikir kunjungan tersebut sudah cukup untuk dijadikan laporan pandangan mata ini.

Kesan Tentang Museum
     Sangat disayangkan, museum yang terdapat di Keraton ini sangat tidak terawat. Tempatnya sangat gersang dan kotor. Patung - patung yang terdapat didalam pun sudah mengelupas kulitnya, dan pakaiannya pun sudah buluk, terlihat sangat tidak terawat. Padahal tempat ini adalah salah satu tujuan utama para wisatawan. Walaupun begitu, karena saya sudah pernah mengunjungi Keraton pada saat masih bagus (lebih baik dari yang sekarang), saya rasa sudah cukup review saya tentang museum ini. Berikutnya akan saya lampirkan beberapa foto yang saya ambil saat berada di keraton.

Foto - Foto



Walaupun keadaan yang saya lihat sedikit memprihatinkan, namun saya tetap menghormati keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Karena saya adalah manusia Jawa, bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Maka dari itu ingatlah peribahasa ini:

"Sadumuk bathuk sanyari bumi,"
Hormatilah tempat dimana engkau berada.