Kamis, 10 Januari 2013

Museum Kayu Wanagama

Museum Kayu Wanagama Seakan Kehilangan Tujuan
 Oleh : Arin Wahyu Agustin

     Sekilas nama museum ini memang sangat "kering" dan tidak menggugah rasa ingin tahu siapapun yang mendengarnya. Dari pinggir jalan pun tak nampak aktivitas kemuseuman di sana. Museum ini pertama kali didirikan pada tahun 1995 dengan tujuan melindungi keberagaman hasil-hasil kayu sebagai kekayaan budaya bangsa, pengetahuan keragaman jenis-jenis kayu, dan lain sebagainya.  Pendirian museum ini diprakarsai oleh dua staff dosen Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Ir. Hj. Oemi Hani'in dan Ir. Etty Suliantoro bersama dengan perum perhutani. 

     Dari UGM menuju ke museum dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam perjalanan mengendarai sepeda motor. Sepanjang perjalanan kita akan disuguhi pemandangan alam yang sangat eksotis. Apalagi ketika sampai di Bukit Bintang, seluas mata memandang hamparan lembah indah dan jajaran pegunungan diselimuti awan biru dengan mega putih nampak sangat memesona. Jadi, perjalanan menuju museum juga merupakan wisata yang sangat menarik, apalagi bagi mereka yang suka fotografi, ini adalah objek luar biasa.


     Katanya dulu ada sebuah warung makan yang sangat ramai di sebelah kiri depan belokan menuju museum bernama Warung Lombok Ijo. Namun sekarang telah ditinggalkan oleh pengelolanya karena pengunjung museum semakin hari semakin berkurang sehingga tidak ada yang makan di warung tersebut. Terhitung sejak 19 Febuari 2011 sampai 5 Januari 2013 total pengunjung hanya 147 orang saja. Jalan masuknya pun cukup membuat orang bertanya-tanya apakah benar jalan tersebut adalah jalan masuk museum. Kondisi jalan yang tidak baik membuat jalan menjadi sangat licin, lebih-lebih saat musim hujan. Tempat parkir pun bisa disebut tidak ada dan tentu saja tanpa penjaga. Tetapi, suasana museum yang asri di tengah pohon-pohon rindang membuat semua kekurangan itu tertutupi. Udaranya bersih dan nyaman serta jauh dari kebisingan. Museum ini buka setiap hari dari pagi sampai sore hari dan untuk masuk, pengunjung dibebankan biaya hanya Rp 5.000,- saja yang nantinya akan digunakan untuk perbaikan dan perawatan museum.
 
     Di museum ini disimpan fosil-fosil kayu dan benda-benda yang bahan baku pembuatnya adalah berbagai jenis kayu. Beberapa di antaranya adalah fosil kayu jati berumur ratusan tahun, meja dan kursi pertama mantan menteri kehutanan RI Ir. Sudjarwa, Arca Gupolo, lesung, alat tenun tradisional, Loro Blonyoh Kuno, patung toraja, patung kepala rusa, Gebyok ukir dari kayu jati, lengeh/ kursi malas, lincak, topeng-topeng kayu, andong, dan banyak benda-benda kerajinan kayu lainnya. Bangunan museum itu sendiri juga terbuat dari kayu, berbentuk rumah panggung. Yang membuatnya keren adalah desainnya menyatu dengan lingkungan hutan Wanagama. Jadi ketika kita berada di museum akan didapatkan sensasi seolah-olah kita sedang berada jauh di dalam hutan. Keren!
     Di depan museum ditanam dua pohon Cendana yang sarat akan nilai dan simbol. Kayu cendana dianggap sebagai kayu dengan kualitas terbaik. Ketika ia sudah cukup tua, ia kan mengeluarkan bau harum yang sangat menyegarkan. Ia juga sangat kuat. Pemilihan pohon Cendana dan pemilihan lokasi penanamannya yang tepat berada di depan museum menyimbolkan harapan pendiri museum ini agar kelak ia bisa menjadi berguna dan mengharumkan nama bangsa, mungkin. 
     Tetapi sangat disayangkan, sejak lebih dari lima tahun terakhir, museum ini tak dikelola dan dirawat dengan baik. Museum yang terletak di kawasan hutan Wanagama, Jalan Jogja-Wonosari Km 30, saat ini memang berada di ambang kematian. Benda-benda museum terbengkalai dan tak terawat sehingga banyak di antara benda-benda tersebut kotor dan rusak. Lantainya yang juga terbuat dari kayu juga mulai rapuh dan berlubang. Atapnya sudah tidak layak sehingga saat hujan airnya akan mudah masuk dan membasahi benda-benda museum yang notabene akan membuat proses perusakannya semakin cepat.  Peletakan benda koleksinya pun kurang rapi karena harus dihindarkan dari kebocoran. Beberapa coretan di dinding kayu juga turut menghancurkan keanggunan museum ini.
     Ketika museum-museum yang lain memiliki catatan-catatan tentang benda koleksinya maka berbeda dengan Museum Kayu Wanagama. Ia tidak memiliki catatan yang cukup untuk membantu pengunjung mengetahui paling tidak apa benda yang dilihatnya. Tentu saja di museum yang menyimpan benda-benda bernilai seni maka pengunjung berharap mengetahui seluk beluk karya tersebut. Tetapi saat ini, hal itu belum bisa dinikmati pengunjung karena masih dalam masa-masa penelusuran. Yang ada hanyalah kertas kecil berisi tulisan seadanya tentang nama benda dan bahan bakunya, itupun hampir tak terbaca. Sungguh miris.

     "Ketika saya menerima jabatan sebagai kepala museum ini bulan September 2012 lalu, saya hanya menerima bangunan museum ini dan benda koleksi di dalamnya tanpa dokumen atau catatan sejarah museum, bahkan inventaris apa saja yang dimiliki pun tidak ada catatannya." tutur Bapak Suranto, dosen Fakultas Kehutanan UGM yang saat ini menjabat sebagai kepala museum. Beliau tidak mempunyai staff maupun karyawan pembantu. Oleh karena kesibukannya mengajar di UGM maka ia secara pribadi menggaji seorang pemuda bernama Mas Udin untuk mengurus kebersihan, keamanan, serta pemandu museum sebagai bentuk tanggung jawab dan kecintaannya terhadap kayu. Setiap hari Sabtu dan waktu-waktu senggang beliau meluangkan waktu untuk datang ke museum. Perhatiannya sebagai ahli kayu mendorong hati kecilnya untuk menghidupkan museum ini kembali. Ia berpikir bahwa benda-benda koleksi museum tersebut harus diketahui sejarah di belakangnya, nilai-nilainya, dan segala sesuatu tentangnya. Tetapi karena ketiadaaan dokumen dan catatan dari pengelola sebelumnya (dan tentu saja bantuan dana), beliau merasa kesulitan untuk menelusuri jejak-jejak sejarah tersebut.
     Dalam waktu-waktu ini beliau sedang berkonsentrasi untuk mengembalikan kondisi bangunan museum sehingga layak digunakan setidaknya untuk menyimpan benda-benda bernilai edukatif, sejarah, dan seni tinggi itu. Beliau berencana untuk menggandeng pihak swasta dalam proses rehabilitasi museum karena UGM, sebagai pemilik museum, tidak memiliki dana untuk perbaikan dan perawatan museum. Dan sebagai imbalan atas bantuan mereka, nama perusahaan/ lembaga/ perseorangan akan dicantumkan dalam karya di museum. Ia juga menggandeng beberapa mahasiswa untuk mempromosikan Museum Kayu Wanagama melalui media internet dan juga pameran museum di istana negara akhir 2012 lalu.
     Setuju dengan usaha Bapak Suranto, saya pun berpikir bahwa Museum Kayu Wanagama merupakan aset yang tak ternilai harganya yang harus diselamatkan. Keberadaan museum ini seharusnya bisa menjadi wadah dan objek penelitian bagi akademisi, khususnya mahasiswa UGM sendiri. Lokasinya yang berada di kawasan hutan konservasi Wanagama sangat mendukung sebagai lokasi pengamatan dan penelitian, misalnya penelitian tentang hutan, kayu, kesenian, sejarah, budaya, arkeologi, filsafat dan lain sebagainya. Koleksinya pun cukup banyak dan mungkin tidak akan habis dalam waktu 100 tahun untuk diteliti.
     Selain sebagai objek kajian dan penelitian, lokasi museum ini juga sangat berpotensi digunakan sebagai objek wisata alam yang sangat lengkap mengingat museum ini menjadi satu rangkaian dengan hutan Wanagama. Untuk meningkatkan antusias kunjungan, akan lebih baik jika mulai dilakukan usaha perbaikan.
Yang pertama, memperbaiki museum dan perawtan benda koleksinya (sedang dilakukan oleh Bapak Suranto dan Mas Udin). Selanjutnya adalah membuat gapura di depan pintu masuk museum dari Jalan Raya Jogja-Wonosari sehingga keberadaan museum diketahui. Kemudian perbaikan jalan masuk ke museum dan lokasi parkir. Menurut saya, tidak mesti jalan aspal karena jalan aspal bisa mengurangi keasrian lokasi. Menghidupkan kembali Warung Lombok Ijo yang dulu berada di depan museum (atau mungkin beberapa warung yang lain) bisa menjadi faktor pendukung. Tentu saja sebagai objek wisata, warung makan merupakan faktor yang pertama dicari oleh pengunjung.
     Langkah besar yang sebaiknya dilakukan juga adalah membangun taman bermain di depan museum. Lahan  yang masih sangat luas sebaiknya dimanfaatkan sebagai sarana penarik perhatian pengunjung untuk datang ke museum. Selain itu, lokasinya yang bersatu dengan hutan Wanagama bisa dijadikan lokasi outbond yang sangat sempurna. Sebaiknya pengelola museum  bekerja sama dengan pengelola hutan Wanagama untuk mewujudkan cita-cita yang satu ini.  Di depan museum juga terdapat sebuah sungai besar yang mungkin saja bisa dimanfaatkan untuk olahraga air, seperti rafting atau yang lainnya.
     Usaha-usaha di atas disarankan karena waktu tidur museum yang sudah terlalu lama sehingga diperlukan cara ekstra untuk menarik pengunjung datang ke museum.  Tentu saja usaha-usaha pendataan dan pengkajian benda-benda museum seperti yang telah dipaparkan di atas harus terus dilakukan untuk mengembalikan dan mewujudkan kembali cita-cita awal didirikannya museum ini. Fakultas kehutanan, sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengelola museum sebaiknya segera menaruh perhatian secara khusus untuk museum ini dan mungkin menggandeng Fakultas Ilmu Budaya (Ilmu Sejarah dan Arkeologi) untuk menyusuri sejarah benda koleksinya.  Tidak salah jika Fakultas Kehutanan tidak mampu mengurus museum ini sendirian ketika fakultas ini mempelajari ilmu yang memandang ke depan. Maksudnya, fakultas ini mempelajari -gampangannya- bagaimana bibit tumbuh menjadi pohon dengan kayu yang berkualitas dan bisa menjadi bahan baku industri dengan nilai ekonomis tinggi tanpa memperhatikan nilai dan simbol budaya yang mungkin saja ada dalam benda hasil karya kayu tersebut. Singkatnya ia mempelajari ilmu yang memandang lurus ke masa depan. Padahal sebagai museum, ia harus memperhatikan aspek sejarah dan budayanya (memandang ke masa lalu).
     Setelah usaha-usaha di atas, museum ini diharapkan dapat hidup kembali dan menemukan kembali tujuannya berdiri, cita-cita orang-orang besar penggagas museum ini. Tentu saja Bapak Suranto tidak mungkin bekerja sendiri untuk mewujudkan usaha di atas. Bantuan dari banyak aspek sangat dibutuhkan baik dukungan moral dan yang paling penting adalah dana. Mahasiswa terutama Universitas Gajah Mada sebaiknya dilibatkan dalam prosesnya. Saya yakin dengan kerjasama yang baik dari banyak pihak, Museum Kayu Wanagama dapat berdiri kembali dan menjadi kebanggaan khususnya bagi Universitas Gajah Mada.

 

















Catatan: Bagi Anda yang berpartisipasi dalam perbaikan museum, mengunjungi museum, berbagi dokumen tentang sejarah museum dan atau hanya ingin mendapatkan informasi tentang Museum Kayu Wanagama, hubungi Bp. Suranto 081228803985.

2 komentar:

  1. Terima kasih Arin, liputan tentang museum kayunya, lengkap dengan arah ke sana, nomor kontak pengelola serta saran-saran perbaikannya. Kita bantu yukkk

    BalasHapus
  2. Terima kasih kembali Madame.. Iya kita semua harus ikut membantu menghidupkan kembali museum kayu wanagama, sayang Madame kalau aset berharga ini lapuk dimakan ketidakpedulian

    BalasHapus