Mengelola sebuah museum merupakan tanggung jawab yang besar. Pihak pengelola harus mampu menyediakan pelayanan yang baik bagi pengunjung, termasuk di dalamnya service, kebersihan, kerapian, dan sebagainya, namun juga bertanggung jawab untuk merawat objek-objek di dalam museum, karena biasanya objek di dalam museum membutuhkan perawatan yang ekstra. Karena itu, mengelola sebuah museum membutuhkan sumber daya yang berkualitas, dan sumber dana yang tidak sedikit.
Salah satu contoh museum yang memiliki pengelolaan yang sudah mapan adalah Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman. Museum yang didirikan di bekas rumah dinas Panglima Besar Jenderal Sudirman ini memiliki berbagai koleksi yang menarik. Mulai dari senjata milik Jenderal Sudirman, sampai dengan telegram-telegram ungkapan turut berduka cita untuk istri Jenderal Sudirman saat beliau wafat.
Museum ini (dalam bahasa awam) dikelola oleh TNI. Angkatan darat memiliki divisi dalam bidang sejarah dan monumen yang bertanggung jawab untuk mengelola peninggalan-peninggalan seperti bekas rumah dinas panglima besar jendral Soedirman. Apabila kita berkunjung, kita akan mendapati museum ini sangat bersih lingkungannya dan terawat berbagai koleksinya. Padahal, yang mengelola hanyalah tujuh orang yang piket secara bergantian. Saya bertanya apakah ini karena faktor kedisiplinan khas militer? Bapak Heru Santoso, yang mengepalai penanggung jawaban mesum itu menjelaskan bahwa setiap museum sebenarnya bisa memiliki pelayanan yang baik, bersih, dan terawat. Pada awalnya mungkin harus ada unsur ‘paksaan’, namun untuk mencapai hasil yang baik, kita memang harus keras terhadap diri kita sendiri. Secara kualifikasi, setiap petugas yang sedang mendapat tugas piket harus mampu untuk menjadi guide yang dapat menjelaskan tentang seluk beluk museum dan kisah sejarah panglima besar jendral Soedirman. Padahal, mereka juga memiliki kewajiban di militer seperti latihan menembak rutin, minggu militer, dan sebagainya.
Dalam masalah pembiayaan, museum penglima besar jendral Soedirman ditanggung oleh TNI pula, bahkan, mereka tidak memungut biaya masuk museum, sehingga bisa memberikan akses yang mudah bagi siapa saja. Bagi pengunjung yang hendak mengunjungi museum hanya perlu mengisi buku tamu, tidak sepeser pun uang yang ditarik. Dengan begitu, museum ini sepenuhnya menjadi monumen dan fasilitas untuk seluruh masyarakat. Dan para staf dapat fokus untuk merawat dan memberikan pelayanan yang maksimal, karena dengan tidak dipungutnya biaya, idealisme-lah yang menjadi penggerak utama.
Tentu dalam mengelola museum, tidak bisa hanya menjaga agar museum tetap ‘hidup’, tetap beroperasi sehari-hari. Tetapi juga harus ada berkembangan agar kualitas dan pelayanan juga meningkat, sehingga pengujung bertambah secara kualitas dan kuantitas. Program-program diadakan, promosi digencarkan, koleksi ditambah, dan sebagainya. Sehingga museum harus bersikap tidak hanya ‘pasif’, namun juga ‘aktif’. Namun tentu, bagi museum-museum seperti Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman, menambah isi museum tidak bisa sembarangan. Tim harus melakukan verifikasi dan kaji berulang-ulang untuk memutuskan apakah suatu objek bisa menjadi koleksi museum. Misalnya. apa bila pernah dilaporkan Jenderal Soedirman pernah tinggal di rumah bapak X saat bergerilya, tim yang bertugas mengelola peninggalan tersebut harus melakukan kaji historis dan memverifikasi kesaksian pemilik rumah. Dan setelah memberikan apresiasi apabila pemilik menghendaki, maka baru bisa suatu objek menjadi tambahan koleksi museum.
Namun, sebaik apapun pengelolaan yang dilakukan kepada museum-museum tersebut, masih ada yang dirasa kurang. Yaitu, apresiasi masyarakat. Bapak Heru Santoso mengatakan, bahwa nilai yang terkandung dalam museum panglima besar jendral Soedirman sangat tidak sebanding dengan apresiasi masyarakat sejauh ini. Memang benar, beberapa kali saya datang, dan berkali-kali saya melewati museum ini, selalu hanya segelintir pengunjung yang tampak. Kadang ada rombongan, memang, namun itu adalah bagian dari acara sekolah anak sd. Yang masih diprihatinkan oleh Bapak Heru bukanlah jumlah pengunjung secara kuantitas, namun kualitas. Masih banyak pengunjung yang hanya datang untuk melihat-lihat, padahal, banyak sekali yang bisa dipelajari dari museum ini. Selain itu, pengunjung pada umumnya tidak mengunjungi museum ini dengan ‘hati’. Nilai yang terkandung bukan hanya nilai-nilai ‘berwujud’ seperti data, historis, ataupun arkeologis, namun juga nilai-nilai moral dari jalan hidup Panglima Besar Jenderal Sudirman. Misalnya saat seorang pengunjung melihat peta rute gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman, pengunjung itu sendirilah yang memutuskan, apakah dia hanya melihat itu sebagai sebuah peta rute, atau mengambil pelajaran, dari jalan yang ditempuh Jenderal Sudirman untuk melawan penjajahan di saat tubuhnya sendiri sudah tidak sempurna.
Mungkin, tidak seperti negara-negara maju, masyarakat kita belum siap untuk ‘belajar’ dari atau melalui museum. Masyarakat kita harus berubah, dan memang, masyarakat kita sedang berubah. Akankah masyarakat mencapai perubahan di masa depan, hanya kita yang menentukan. Karena kita adalah masyarakat, karena kita adalah masa depan.
yusuf alazhar